Berdasarkan perhitungan statistic bahwa di Kabupaten Sumedang 11,3 % produksi padi hilang pada saat panen dan pasca panen. Seandainya dalam luasan 1 ha menghasilkan 6 ton gabah kering giling maka menurut statistic 678 kg setiap ha hilang. Ketika petani panen. Dari mulai motong menggunakan arit biasa dengan hentakan yang cukup kuat terdapat bulir yang jatuh, setelah dipotong disimpan dipetakan tanpa alas itu juga ada yang jatuh. Setelah beres motong kemudian diangkut ke tempat perontokan gabah dalam pengangkutan itu ada hentakan hentakan dan disitu juga ada gabah yang jatuh, pada saat merontokan dibanting banting dengan menggunakan landasan kayu dan bambu. Pada saat dibanting kehilangannya tergantung luas hamparan alas yang digunakan kalau hamparannya luas sedikit yang hilang tapi kalau alas yang digunakan sempit pasti banyak yang hilang. Kita coba hitung untuk kecamatan situraja luas sawah disituraja 1458 ha
Tabel 1. Luas dan Frekuensi Tanam Lahan Sawah di Kecamatan Situraja
No | Kecamatan Situraja | Luas Baku Lahan (Ha) | Frekuensi Tanam / Tahun | |||
1X | 2X | 3X | Jumlah | |||
1458 | 34 | 1261 | 163 | |||
Luas tanam/tahun | 34 | 2522 | 489 | 3045 |
1458 ha dengan frekuensi tanam yang berbeda tergantung kondisi air. Maka luas tanam per tahun 3045 ha. Kehilangan hasil per tahun untuk kecamatan Situraja sebesar 3045 x 678 = 2064,51 ton. Bila dihitung dengan uang dengan harga satuan Rp 400.000/kwt, maka jumlah nilai kehilangan hasil per tahun = Rp 8.258.040.000,- ( delapan milyar duratus limapuluh delapan juta, empat puluh ribu rupiah
Dalam upaya menurunkan angka kehilangan hasil pemerintah memberikan bantuan kepada beberapa kelompok tani berupa alat perontok gabah power thresher.
Salah satu kelompok tani yang mendapatkan bantuan power thresher adalah kelompok tani Leuwi Tunggul di wilayah Desa Ranjeng yang di ketuai oleh H Karya dengan alamat domosili dusun Bakan asem
Tentu saja bantuan tersebut hanya merupakan stimulan karena dengan bantuan alat yang hanya satu untuk satu kecamatan ini tidak mungkin dapat manuntaskan masalah kehilangan hasil. Jangankan untuk satu kecamatan , untuk satu desa ,atau sekalipun untuk satu kelompok tani belum tentu mampu menyelesaikan masalah kehilangan hasil secara tuntas.
Operator khusus dilatih sehingga menjadi trampil dan mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kapasitas mesin, ini juga belum tentu tuntas. Sangat berbeda dengan keberadaan traktor . pemilik sawah yang menggunakan jasa traktor masih bisa bersabar menunggu giliran sehingga sawahnya dapat diolah. Tapi apakah akan sama petani yang menggunakan jasa thresher sanggup menunggu giliran untuk kebagian panen ? sedangkan petani di desa kebanyakan petani yang kecil yang ditunggu dengan berbagai kebutuhan mendesak butuh untuk makan, butuh untuk biaya anak sekolah dan biaya lain yang setiap hari harus dipenuhi .Selain itu, apakah bisa merobah kebiasaan petani?. Ketika seorang petani panen padi di lahan sawahnya, yang melakukan panen adalah orang yang dulu melakukan tanam/tandur.
Dalam luasan 100 tumbak saja yang melakukan panen sekitar 4 orang. Mereka biasanya membawa perlengkapan masing masing yang berupa amparan dan perontok banting. Dari ke empat orang tersebut menyabit masing masing, mengangkut masing masing dan merontokan masing masing dalam waktu yang hampir bersamaan. Kemudian setelah menjadi gabah hasilnya dari masing masing pemanen diukur dengan takaran yang telah ditentukan dan jumlahnya menentukan berapa banyak bagian yang diterima oleh sipemanen. Aturan yang berlaku di lapangan adalah setiap 10 takaran hasil panen 1 takaran diberikan kepada si pemanen. Banyaknya bagian yang diterima oleh masingmasing pemanen, tergantung kecepatan dan keterampilan pemanen itu sendiri, jadi satu sama lain tidak akan sama pendapatannya.