Senin, 31 Januari 2011

Bisakah Power Thresher Bantuan pemerintah Mengurangi Losis gabah ?



Berdasarkan perhitungan statistic  bahwa di Kabupaten Sumedang  11,3 % produksi padi hilang   pada saat  panen dan pasca panen. Seandainya dalam luasan 1 ha menghasilkan 6 ton gabah kering giling maka menurut  statistic 678 kg setiap ha hilang.   Ketika petani panen. Dari mulai motong  menggunakan arit biasa dengan hentakan yang cukup kuat terdapat bulir yang jatuh, setelah dipotong disimpan dipetakan tanpa alas itu juga ada yang jatuh.  Setelah beres motong kemudian diangkut ke tempat perontokan gabah dalam pengangkutan itu ada hentakan hentakan  dan disitu juga ada gabah yang jatuh, pada saat merontokan dibanting banting dengan menggunakan landasan kayu dan bambu. Pada saat dibanting kehilangannya tergantung luas hamparan alas yang digunakan kalau hamparannya luas sedikit yang  hilang  tapi kalau  alas yang digunakan sempit  pasti banyak yang  hilang.  Kita coba hitung untuk kecamatan situraja  luas sawah disituraja 1458 ha

Tabel 1.  Luas dan Frekuensi Tanam Lahan Sawah di Kecamatan Situraja



No

Kecamatan Situraja

Luas Baku Lahan (Ha)
Frekuensi Tanam / Tahun
1X
2X
3X
Jumlah


1458
34
1261
163



Luas tanam/tahun
34
2522
489
3045

1458 ha dengan frekuensi tanam yang berbeda  tergantung kondisi air.  Maka luas tanam per tahun 3045 ha.  Kehilangan hasil per tahun  untuk kecamatan Situraja sebesar 3045 x 678 = 2064,51 ton. Bila dihitung dengan uang dengan harga satuan Rp 400.000/kwt, maka jumlah nilai kehilangan hasil per tahun = Rp 8.258.040.000,- ( delapan milyar duratus limapuluh delapan juta, empat puluh ribu rupiah
Dalam  upaya menurunkan  angka kehilangan hasil pemerintah memberikan bantuan kepada beberapa kelompok tani berupa alat perontok gabah power  thresher.
Salah satu kelompok tani yang mendapatkan bantuan power thresher adalah kelompok tani Leuwi Tunggul di wilayah Desa Ranjeng yang di ketuai oleh H Karya  dengan alamat domosili dusun Bakan asem 



Tentu saja bantuan tersebut hanya merupakan stimulan  karena dengan bantuan alat yang hanya satu untuk satu kecamatan ini tidak mungkin  dapat manuntaskan masalah kehilangan hasil. Jangankan untuk satu kecamatan , untuk satu desa ,atau sekalipun untuk satu kelompok tani belum tentu mampu menyelesaikan masalah kehilangan hasil secara tuntas. 
Operator khusus  dilatih sehingga menjadi trampil  dan mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kapasitas mesin, ini juga belum tentu tuntas. Sangat berbeda dengan keberadaan traktor . pemilik sawah yang menggunakan jasa traktor masih bisa bersabar menunggu giliran sehingga sawahnya dapat diolah. Tapi apakah akan sama petani yang menggunakan jasa thresher sanggup menunggu giliran untuk kebagian panen ? sedangkan petani di desa kebanyakan petani yang kecil yang ditunggu dengan berbagai kebutuhan mendesak  butuh untuk makan, butuh untuk biaya anak sekolah  dan biaya lain  yang setiap hari harus dipenuhi .
Selain itu, apakah bisa merobah kebiasaan petani?.  Ketika  seorang  petani panen padi di  lahan  sawahnya, yang melakukan panen adalah orang yang   dulu melakukan tanam/tandur. 
Dalam luasan 100 tumbak saja yang melakukan panen sekitar 4 orang.  Mereka biasanya membawa perlengkapan masing masing yang berupa amparan dan perontok banting. Dari ke empat orang tersebut  menyabit masing masing, mengangkut masing masing  dan merontokan masing masing  dalam waktu yang hampir bersamaan.  Kemudian setelah menjadi gabah  hasilnya dari masing masing pemanen  diukur dengan takaran yang telah ditentukan  dan jumlahnya menentukan  berapa banyak bagian yang diterima  oleh sipemanen.  Aturan yang berlaku di lapangan  adalah setiap 10 takaran hasil panen 1 takaran diberikan kepada si pemanen. Banyaknya bagian yang diterima  oleh masingmasing pemanen, tergantung  kecepatan dan keterampilan pemanen itu sendiri, jadi satu sama lain tidak akan sama pendapatannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar